KENALI DBD SEJAK DINI UNTUK PENANGANAN OPTiMAL
Angka
kesakitan dan kematian DBD di berbagai negara sangat bervariasi, dan tergantung
dari berbagai macam faktor. Antara lain status kekebalan dan populasi,
kepadatan vector dan frekeunsi penularan ( seringnya terjadi penularan virus
DBD), prevalensi serotype virus dengue dan keadaan cuaca. Ada beberapa faktor
yang dapat mengahambat upaya pengendalian DBD. Anatara lain faktor pengetahuan,
sikap dan perilaku (PSP) masyarakat dan faktor petugas kesehatan. Gambaran
kasus, kejadian luar biasa pertama penyakit DBD di Asia ditemukan di Manila
pada tahun 1954, dan dilaporkan oleh Quintas. Tahun 1958 terjadi di Thailand.
Pada tahun 1960 kasus DBD ditemukan di Singapura. Tahun 1961 di Kamboja
kemudian dilanjutkan ke negara Asia lain. Pengawasan WHO terhadap penyakit DBD
diarahkan di ke wilayah Asia Tenggara mengingat bahwa angka kasus yang
meninggal mencapai 4,6 % (CFR 4,6). Indonesia merupakan negara peringkat kedua
di Asia Tenggara setelah Thailand untuk kasus demam berdarah dengue. Berkaitan
dengan maraknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) saat ini dibeberapa kota
dan daerah yang ada di wilayah Indonesia, terjadi peningkatan – peningkatan
jumlah kasus bahkan sampai meninggalnya pasien DBD.
Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia. Hampir setiap
tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah yang biasanya
terjadi pada musim penghujan, namun sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan
Agustus 2011 tercatat jumlah kasus relatif menurun sebagaimana tampak pada
grafik di bawah. DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan
Surabaya, dengan 48 penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa
ini DBD telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Program
pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan
berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 %
pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah
penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak
hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011
sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %). Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorrhagic Fever)
adalah suatu penyakit yang di sebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi.
Karakteristik
Nyamuk Demam Berdarah Dengue ( DBD )
Pada nyamuk aedes aegypti mempunyai badan dan kaki yang
belang – belang dan berwarna hitam putih. Pada kepala ada gambaran putih
berbentuk lyre ( alat musik cina ), jika nyamuk hinggap badan sejajar
permukaan. Nyamuk ini aktif menghisap darah di dalam rumah pada siang hari dan
beristirahat di tempat gelap, pakaian bergantungan dan lain – lain.
Pada nyamuk aedes albopictus mempunyai badan dan kaki
yang belang – belang dan berwarna hitam putih. Pada kepala ada garis putih,
jika hingga badan sejajar permukaan. Nyamuk ini aktif menghisap darah dari luar
rumah pada siang dan sore hari dan tempat istirahat di semak – semak diluar
rumah. Sedangkan jentik larva aedes ( telur nyamuk ) dapat bertahan lama dalam
kekeringan. Jentik biasanya ada pada tempat penampungan air bersih, yang tidak
langsung berhubungan dengan tanah. Jentik bersifat photopobia (menghisap sinar
) Tempat yang disukai jentik nyamuk aedes antara lain : Bak mandi, bak WC,
tempayan, vas bunga, penampungan air kulkas . dispenser, barang bekas yang dapat
menampung air misalnya ban bekas, botol, ember bekas kemasan minuman dan lain –
lain.
Penyebab
DBD
sangat endemis di Indonesia, sejak ditemukan pertama kali tahun 1968 jumlah
kasus dan luas daerah terjangkit terus meningkat. Penyebab meluasnya penyakit DBD
di Indonesia multi faktorial antara lain:
1. Faktor Manusia dan Sosial
Budaya
a.
Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kejadian kasus DBD,
makin padat penduduk makin tinggi kasus DBD di kota tersebut. Hal ini karena
berkaitan dengan penyediaan INFRA STRUKTUR yang kurang memadai seperti
penyediaan sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga terkumpul
barang2 bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat perkembang biakan
nyamuk Aedes , penular DBD.
b.
Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain
mempengaruhi penyebaran penyakit DBD.
c.
Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti
menampung air hujan, air sumur, harus membeli air didalam BAK MANDI, membuat bak
mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk .
d.
Kebiasaan menyimpan barang2 bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap
adanya air-air
yang tertampung didalam wadah2 dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3 M PLUS
( Menguras, Menutup dan Mengubur PLUS menaburkan Larvasida , memelihara
ikan pemakan jentik dll. )
2. Faktor agen dan lingkungan
a.
Faktor agen/ virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah
Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun, Dipertahankan siklusnya didalam
tubuh nyamuk
b.
Faktor Nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas diseluruh pelosok
tanah air, populasinya meningkat pada saat musim hujan
c.
Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk, namun di Indonesia
musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung menampung air
dan didaerah sulit air orang menampung air didalam bak2 air/ drum, sehingga
nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun.
24
jam agar dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan kasus secara cepat dan
tepat sebelum terjadi penyebaran lebih luas lagi.
3. Ketersediaan Tenaga
Pelayanan
a.
Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya petugas lapangan
dan khususnya kurangnya pendanaan bagi pelaksanaan program pengendalian DBD.
b.
Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh karena keterbatasan
tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB ( Pemeriksaan Jentik Berkala) , kader-kader JUMANTIK melaksanakan
pemeriksaan jentik seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak tersedia dana
operasional maupun biaya pengganti transport bagi para kader Jumantik sehingga
kegiatannya mengendur. Beberapa kota seperti Jakarta Timur, Pekalongan,
Mojokerto sangat aktif melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik melalui peran serta
masyarakat dan Jumantik
.4. Faktor kerjasama/peran serta
Faktor peran serta
lintas sektor maupun peran serta masyarakat yang masih kurang dan cenderung
mengharapkan sektor kesehatan saja yang mengatasi masalah DBD. Dengan kata lain
masalah DBD masih dianggap sebagai masalah sektor kesehatan semata.
Gambaran Klinis
Gambaran
klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi
antara 13 – 15 hari. Penderita biasanya menglami demam sakit (suhu meningkat
tiba – tiba), sering disertai mengigil, saat demam pasien kompos mentis. Gejala
klinis lain yang timbul dan sangat menonjol adalah terjadinya perdarahan pada
saat demam dan tak jarang pula dijumpai saat penderita mulai bebas dari demam.
Perdarahan yang terjadi dapat berupa : perdarahan pada kulit (petekie,
ekimosis, hematom) serta perdarahan lain seperti epistaksis, hematemesis,
hematuri dan melena.
Selain
demam dan perdarahan yang merupakan ciri khas DHF gambaran klinis lain yang
tidak khas dan bisa dijumpai pada penderita DHF adalah :
1.
Keluhan pada
saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan.
2.
Keluhan pada
saluran pencernaan : mual, muntah, tidak nafsu makan (anoreksia ), diare,
konstipasi.
3.
Keluhan sistem
tubuh yang lain : nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang
dan sendi ( break bone fever ). Nyeri otot abdomen, nyeri
ulu hati, pegal – pegal pada seluruh tubuh. Kemerahan pada kulit, kemerahan (
flushing ) pada muka, pembengkakan sekitar mata, lakrimasi dan fotopobia, otot
– otot sekitar mata sakit disentuh dan pergerakan bola mata terasa pegal.
Penatalaksanaan
1.
Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat
tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk aedes aegypti,
pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode
yang tepat yaitu :
-
Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut
antara lain dengan pemberantasan sarang nyamuk ( PSN ), pengelolaan sampah
padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan
manusia, dan perbaikan desain rumah sebagai contoh :
a.
Menguras bak mandi
/ penampungan air sekurang – kurangnya sekali seminggu
b.
Mengganti /
menguras vas bunga dan tempat minum burung sekali seminggu
c.
Menutup dengan rapat tempat penampungan air
d.
Mengubur kaleng –
kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas disekitar rumah dan lain sebagainya.
-
Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt. H- 14)
-
Kimiawi
Cara pengendalian ini antar lain dengan :
a.
Pengasapan /
fogging ( dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi
kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
b.
Memberikan bubuk
abate ( temephos ) pada tempat – tempat penampungan air seperti, gentong air,
vas bunga, kolam dan lain – lain.
Cara yang paling efektif dalam
mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara – cara diatas, yang
disebut dengan 3M plus, yaitu Menutup, Menguras, Menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti
memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada
waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan
repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala dan lain – lain
sesuai dengan kondisi setempat
2)
Pengobatan
Pertolongan pertama
Walaupun penderita tidak
mempunyai nafsu makan, hendaknya diberikan banyak minum, entah air , air sirup,
atau teh. Agar tubuhnya tidak kekurangan cairan, sementara itu untuk membantu
daya tahan tubuh terhadap demam, kepala dikompres. Dirumah sakit pertolongan
pertama adalah memberikan infus berupa larutan berisi elektrolit dan atau
palsma ekspander (untuk mempertahankan air dalam pembuluh darah). Diberikan
pula obat mencegah pembekuan darah intravaskuler serta obat untuk mengatasi
kebocoran dinding pembuluh darah.
Bila terjadi perdarahan hebat
mau tak mau harus menjalani tranfusi darah ( hanya sel pembeku darah atau
trombosit ). Namun sebelum tranfusi dilakukan jangan lupa menanyakan kepada
pihak rumah sakit apakah trombosit sudah dites kebersihannya ( bebas dari virus
atau kuman ). Sebab belakangan beberapa penderita mengeluh. Setelah sembuh
malah terkena penyakit hepatitis B dan C gara – gara trombosit yang tercemar.
Sayang vaksin atau obat yang cespleng untuk membasmi penyakit itu belum ada.
Jadi, penanganan selama ini hanya mengarah pada penambahan trombosit dan
pencegahan kebocoran dinding pembuluh darah. Dengan bantuan WHO pernah diusaha
pembuatan vaksin DBD di Tahiland, namun belum bisa di andalkan keberhasilannya.
Salah satu kendalanya, menurut dr. Agus Syarurachman, Ph,D. Ahli mikrobiologi
FKUI, karena tak ada binatang model yang bisa digunakan untuk melihat sejauh
mana daya proteksi serta efek vaksin tersebut. Pada simpanse, misalnya, hanya
menimbulkan demam saja, tidak sampai renjatan, keadaan lain, tidak adanya
kekebalan silang virus DEN-1 sampai DEN-4, bahkan infeksi virus berulang bisa
fatal. Vaksin yang di berikan hanya bisa mengangkat ke empat virus tersebut
sekaligus.
3)
Pemberantasan
Basmi nyamuk dan larvanya
Pada dokter lebih menekankan
pembasmian nyamuk DBD pada pembasmian larva dibandingkan pembasmian nyamuk
betina dewasa. Untuk membasmi nyamuk biasa digunakan pengasapan atau
penyemprotan dengan insektisida melathion 4% dicampur solar pada wilayah radius
100 – 200m disekitarnya. Namun, cara pengasapan ini dianggap kurang efektif
karena hanya membunuh nyamuk dewasa. Itu pun pengaruhnya tak akan lebih dari
tiga hari. Apalagi kalau hanya di halaman saja, tidak disemprot sampai ke dalam
rumah, pengasapan yang paling efektif sebenarnya dilakukan pada pagi hari saat
angin belum banyak bertiup. Sementara pengasapan yang dilakukan secara berulang
– ulang dinilai bisa mengganggu keseimbangan ekologi. Apalagi kalau nyamuk
menjadi kebal !
Pentingnya peranan tenaga
kesehatan dan dari seluruh aspek sangat dibutuhkan dalam upaya promotif dan perventif
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian pada penyakit Dengue Haemorrhagic
Fever (DHF). Khususnya sebagai
profesi tenaga kesehatan harus memiliki ketrampilan dan peka terhadap
lingkungannya begitu juga sebaliknya dengan
masyarakat sekitar yang di jaman era globalisasi ini sangat penting dibutuhkan
dan ditumbuhkan sikap peduli dan kesadaran diri dari masing-masing individu
untuk memproteksi dalam ruang lingkup kecil yaitu keluarga yang juganya untuk
masyarakat luas
.