Selasa, 17 Juli 2012

KENALI DBD SEJAK DINI UNTUK PENANGANAN OPTiMAL


KENALI DBD SEJAK DINI UNTUK PENANGANAN OPTiMAL

Angka kesakitan dan kematian DBD di berbagai negara sangat bervariasi, dan tergantung dari berbagai macam faktor. Antara lain status kekebalan dan populasi, kepadatan vector dan frekeunsi penularan ( seringnya terjadi penularan virus DBD), prevalensi serotype virus dengue dan keadaan cuaca. Ada beberapa faktor yang dapat mengahambat upaya pengendalian DBD. Anatara lain faktor pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) masyarakat dan faktor petugas kesehatan. Gambaran kasus, kejadian luar biasa pertama penyakit DBD di Asia ditemukan di Manila pada tahun 1954, dan dilaporkan oleh Quintas. Tahun 1958 terjadi di Thailand. Pada tahun 1960 kasus DBD ditemukan di Singapura. Tahun 1961 di Kamboja kemudian dilanjutkan ke negara Asia lain. Pengawasan WHO terhadap penyakit DBD diarahkan di ke wilayah Asia Tenggara mengingat bahwa angka kasus yang meninggal mencapai 4,6 % (CFR 4,6). Indonesia merupakan negara peringkat kedua di Asia Tenggara setelah Thailand untuk kasus demam berdarah dengue. Berkaitan dengan maraknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) saat ini dibeberapa kota dan daerah yang ada di wilayah Indonesia, terjadi peningkatan – peningkatan jumlah kasus bahkan sampai meninggalnya pasien DBD.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia. Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan, namun sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011 tercatat jumlah kasus relatif menurun sebagaimana tampak pada grafik di bawah. DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48 penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %). Demam Berdarah Dengue (Dengue Haemorrhagic Fever) adalah suatu penyakit yang di sebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi.

Karakteristik Nyamuk Demam Berdarah Dengue ( DBD )
Pada nyamuk aedes aegypti mempunyai badan dan kaki yang belang – belang dan berwarna hitam putih. Pada kepala ada gambaran putih berbentuk lyre ( alat musik cina ), jika nyamuk hinggap badan sejajar permukaan. Nyamuk ini aktif menghisap darah di dalam rumah pada siang hari dan beristirahat di tempat gelap, pakaian bergantungan dan lain – lain.
Pada nyamuk aedes albopictus mempunyai badan dan kaki yang belang – belang dan berwarna hitam putih. Pada kepala ada garis putih, jika hingga badan sejajar permukaan. Nyamuk ini aktif menghisap darah dari luar rumah pada siang dan sore hari dan tempat istirahat di semak – semak diluar rumah. Sedangkan jentik larva aedes ( telur nyamuk ) dapat bertahan lama dalam kekeringan. Jentik biasanya ada pada tempat penampungan air bersih, yang tidak langsung berhubungan dengan tanah. Jentik bersifat photopobia (menghisap sinar ) Tempat yang disukai jentik nyamuk aedes antara lain : Bak mandi, bak WC, tempayan, vas bunga, penampungan air kulkas . dispenser, barang bekas yang dapat menampung air misalnya ban bekas, botol, ember bekas kemasan minuman dan lain – lain.

Penyebab
DBD sangat endemis di Indonesia, sejak ditemukan pertama kali tahun 1968 jumlah kasus dan luas daerah terjangkit terus meningkat. Penyebab meluasnya penyakit DBD di Indonesia multi faktorial antara lain:
1. Faktor Manusia dan Sosial Budaya
a. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kejadian kasus DBD, makin padat penduduk makin tinggi kasus DBD di kota tersebut. Hal ini karena berkaitan dengan penyediaan INFRA STRUKTUR yang kurang memadai seperti penyediaan sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga terkumpul barang2 bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat perkembang biakan nyamuk Aedes , penular DBD.
b. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain mempengaruhi penyebaran penyakit DBD.
c. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, harus membeli air didalam BAK MANDI, membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk .
d. Kebiasaan menyimpan barang2 bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap adanya air-air yang tertampung didalam wadah2 dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3 M PLUS ( Menguras, Menutup dan Mengubur PLUS menaburkan Larvasida , memelihara ikan pemakan jentik dll. )
2. Faktor agen dan lingkungan
a. Faktor agen/ virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun, Dipertahankan siklusnya didalam tubuh nyamuk
b. Faktor Nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas diseluruh pelosok tanah air, populasinya meningkat pada saat musim hujan
c. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk, namun di Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung menampung air dan didaerah sulit air orang menampung air didalam bak2 air/ drum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun.
24 jam agar dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan kasus secara cepat dan tepat sebelum terjadi penyebaran lebih luas lagi.
3. Ketersediaan Tenaga Pelayanan
a. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya petugas lapangan dan khususnya kurangnya pendanaan bagi pelaksanaan program pengendalian DBD.
b. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh karena keterbatasan tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB ( Pemeriksaan Jentik Berkala) , kader-kader JUMANTIK melaksanakan pemeriksaan jentik seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak tersedia dana operasional maupun biaya pengganti transport bagi para kader Jumantik sehingga kegiatannya mengendur. Beberapa kota seperti Jakarta Timur, Pekalongan, Mojokerto sangat aktif melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik melalui peran serta masyarakat dan Jumantik
.4. Faktor kerjasama/peran serta
Faktor peran serta lintas sektor maupun peran serta masyarakat yang masih kurang dan cenderung mengharapkan sektor kesehatan saja yang mengatasi masalah DBD. Dengan kata lain masalah DBD masih dianggap sebagai masalah sektor kesehatan semata.

Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi antara 13 – 15 hari. Penderita biasanya menglami demam sakit (suhu meningkat tiba – tiba), sering disertai mengigil, saat demam pasien kompos mentis. Gejala klinis lain yang timbul dan sangat menonjol adalah terjadinya perdarahan pada saat demam dan tak jarang pula dijumpai saat penderita mulai bebas dari demam. Perdarahan yang terjadi dapat berupa : perdarahan pada kulit (petekie, ekimosis, hematom) serta perdarahan lain seperti epistaksis, hematemesis, hematuri dan melena.
Selain demam dan perdarahan yang merupakan ciri khas DHF gambaran klinis lain yang tidak khas dan bisa dijumpai pada penderita DHF adalah :
1.         Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu menelan.
2.         Keluhan pada saluran pencernaan : mual, muntah, tidak nafsu makan (anoreksia ), diare, konstipasi.
3.         Keluhan sistem tubuh yang lain : nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang dan sendi ( break bone fever ). Nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal – pegal pada seluruh tubuh. Kemerahan pada kulit, kemerahan ( flushing ) pada muka, pembengkakan sekitar mata, lakrimasi dan fotopobia, otot – otot sekitar mata sakit disentuh dan pergerakan bola mata terasa pegal.

Penatalaksanaan
1.            Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk aedes aegypti, pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat yaitu :
-          Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan pemberantasan sarang nyamuk ( PSN ), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah sebagai contoh :
a.       Menguras bak mandi / penampungan air sekurang – kurangnya sekali seminggu
b.      Mengganti / menguras vas bunga dan tempat minum burung sekali seminggu
c.       Menutup dengan  rapat tempat penampungan air
d.      Mengubur kaleng – kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas disekitar rumah dan lain sebagainya.
-          Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt. H- 14)
-          Kimiawi
Cara pengendalian ini antar lain dengan :
a.       Pengasapan / fogging ( dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
b.      Memberikan bubuk abate ( temephos ) pada tempat – tempat penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam dan lain – lain.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara – cara diatas, yang disebut dengan 3M plus, yaitu Menutup, Menguras, Menimbun. Selain  itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala dan lain – lain sesuai dengan kondisi setempat
2)                  Pengobatan
Pertolongan pertama
Walaupun penderita tidak mempunyai nafsu makan, hendaknya diberikan banyak minum, entah air , air sirup, atau teh. Agar tubuhnya tidak kekurangan cairan, sementara itu untuk membantu daya tahan tubuh terhadap demam, kepala dikompres. Dirumah sakit pertolongan pertama adalah memberikan infus berupa larutan berisi elektrolit dan atau palsma ekspander (untuk mempertahankan air dalam pembuluh darah). Diberikan pula obat mencegah pembekuan darah intravaskuler serta obat untuk mengatasi kebocoran dinding pembuluh darah.
Bila terjadi perdarahan hebat mau tak mau harus menjalani tranfusi darah ( hanya sel pembeku darah atau trombosit ). Namun sebelum tranfusi dilakukan jangan lupa menanyakan kepada pihak rumah sakit apakah trombosit sudah dites kebersihannya ( bebas dari virus atau kuman ). Sebab belakangan beberapa penderita mengeluh. Setelah sembuh malah terkena penyakit hepatitis B dan C gara – gara trombosit yang tercemar. Sayang vaksin atau obat yang cespleng untuk membasmi penyakit itu belum ada. Jadi, penanganan selama ini hanya mengarah pada penambahan trombosit dan pencegahan kebocoran dinding pembuluh darah. Dengan bantuan WHO pernah diusaha pembuatan vaksin DBD di Tahiland, namun belum bisa di andalkan keberhasilannya. Salah satu kendalanya, menurut dr. Agus Syarurachman, Ph,D. Ahli mikrobiologi FKUI, karena tak ada binatang model yang bisa digunakan untuk melihat sejauh mana daya proteksi serta efek vaksin tersebut. Pada simpanse, misalnya, hanya menimbulkan demam saja, tidak sampai renjatan, keadaan lain, tidak adanya kekebalan silang virus DEN-1 sampai DEN-4, bahkan infeksi virus berulang bisa fatal. Vaksin yang di berikan hanya bisa mengangkat ke empat virus tersebut sekaligus.
3)      Pemberantasan
Basmi nyamuk dan larvanya
Pada dokter lebih menekankan pembasmian nyamuk DBD pada pembasmian larva dibandingkan pembasmian nyamuk betina dewasa. Untuk membasmi nyamuk biasa digunakan pengasapan atau penyemprotan dengan insektisida melathion 4% dicampur solar pada wilayah radius 100 – 200m disekitarnya. Namun, cara pengasapan ini dianggap kurang efektif karena hanya membunuh nyamuk dewasa. Itu pun pengaruhnya tak akan lebih dari tiga hari. Apalagi kalau hanya di halaman saja, tidak disemprot sampai ke dalam rumah, pengasapan yang paling efektif sebenarnya dilakukan pada pagi hari saat angin belum banyak bertiup. Sementara pengasapan yang dilakukan secara berulang – ulang dinilai bisa mengganggu keseimbangan ekologi. Apalagi kalau nyamuk menjadi kebal !
Pentingnya peranan tenaga kesehatan dan dari seluruh aspek sangat dibutuhkan dalam upaya promotif dan perventif untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian pada penyakit Dengue Haemorrhagic Fever (DHF). Khususnya  sebagai profesi tenaga kesehatan harus memiliki ketrampilan dan peka terhadap lingkungannya begitu juga sebaliknya dengan masyarakat sekitar yang di jaman era globalisasi ini sangat penting dibutuhkan dan ditumbuhkan sikap peduli dan kesadaran diri dari masing-masing individu untuk memproteksi dalam ruang lingkup kecil yaitu keluarga yang juganya untuk masyarakat luas


.

Menelusuri Vitamin A Untuk Anak


Mengapa Perlu Vitamin A

Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (essensial) bagi manusia, mengapa dikatan demikian karena zat gizi ini tidak dapat dibuat dan dihasilkan oleh tubuh kita, sehingga harus dipenuhi dari luar. Tubuh dapat memperoleh vitamin A melalui:

·         Bahan makanan seperti : sayur bayam, daun singkong, pepaya matang, hati, kuning telur dan juga ASI.

·         Bahan makanan yang diperkaya dengan vitamin A.

·         Kapsul vitamin A dosis tinggi.

Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan, dan lebih penting lagi, vitamin A meningkatkan daya tahan tubuh. Anak-anak yang cukup mendapat vitamin A, bila terkena diare, campak atau penyakit infeksi lain, maka penyakit-penyakit tersebut tidak mudah menjadi parah, sehingga tidak membahayakan jiwa anak.

Dengan adanya bukti-bukti yang menunjukkan peranan vitamin A dalam menurunkan angka kematian yaitu sekitar 30%-54%, maka selain untuk mencegah kebutaan, pentingnya vitamin A saat ini lebih dikaitkan dengan kelangsungan hidup anak, kesehatan dan pertumbuhan anak.

Masalah Kurang Vitamin A

Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama. Meskipun KVA tingkat berat (Xerophthalmia) sudah jarang ditemui, tetapi KVA pada tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih menimpa masyarakat luas terutama kelompok balita. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium.

Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es” yaitu masalah Xerophthalmia yang hanya sedikit tampak dipermukaan.

Padahal, KVA subklinis yang ditandai dengan rendahnya kadar vitamin A dalam darah masih merupakan masalah besar yang perlu mendapat perhatian. Hal ini menjadi lebih penting lagi, karena erat kaitannya dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan kematian pada balita.


Pencegahan dan Penanggulangan KVA

Prinsip dasar untuk mencegah dan menanggulangi masalah KVA adalah menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh. Selain itu, perbaikan kesehatan secara umum turut pula memegang peranan.

Dalam upaya menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh, ditempuh kebijaksanaan sebagai berikut:
·         Meningkatkan konsumsi sumber vitamin A alami melalui penyuluhan
·         Menambahkan vitamin A pada bahan makanan yang dimakan oleh golongan sasaran secara luas (fortifikasi).
·         Distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi secara berkala.

Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses komunikasi-informasi-edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman dan tetap bisa bertahan. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan fortifikasi dengan vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.

Tujuan pemberian Vitamin A
Kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) terbukti efektif untuk mengatasi masalah KVA pada masyarakat apabila cakupannya tinggi (minimal 80%). Cakupan tersebut dapat tercapai apabila seluruh jajaran kesehatan dan sektor-sektor terkait dapat menjalankan peranannya masing-masing dengan baik.
Tujuan Umum : Menurunkan prevalensi (kejadian) dan mencegah kekurangan vitamin A pada anak-anak balita.
Tujuan Khusus :
1.         Cakupan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi paling sedikit 80% dari seluruh sasaran.
2.        Seluruh jajaran kesehatan mengetahui tugas masing-masing dalam kegiatan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi, dan melaksanakan tugas tersebut dengan baik.
3.        Seluruh sektor terkait mengetahui peranan masing-masing dalam kegiatan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi dan melaksanakan peran tersebut dengan baik.

Cara Pemberian Vitamin A
Sasaran
1.  Bayi : Kapsul vitamin A 100.000 SI diberikan kepada semua anak bayi (umur 6-11 bulan) baik sehat maupun sakit.
2.  Anak Balita : Kapsul vitamin A 200.000 SI diberikan kepada semua anak balita (umur 1-5 tahun) baik sehat maupun sakit.
3.  Ibu Nifas : Kapsul vitamin A 200.000 SI diberikan kepada ibu yang baru melahirkan (nifas) sehingga bayinya akan memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI.
Catatan :
Untuk keamanan, kapsul vitamin A 200.000 SI tidak diberikan kepada bayi (6-11 bulan) dan ibu hamil karena merupakan kontra indikasi.     

Dosis Vitamin A
Secara Periodik
1.  Bayi umur 6-11 bulan : Satu kapsul vitamin A 100.000 SI tiap 6 bulan, diberikan secara serentak pada bulan Februari atau Agustus
2.  Anak Balita umur 1-5 tahun : Satu kapsul vitamin A 200.000 SI tiap bulan, diberikan secara serentak pada bulan Februari dan Agustus
3.  Ibu Nifas (ibu yang melahirkan 42 hari) : Satu kapsul vitamin A 200.000 SI dalam masa nifas. Kapsul vitamin A diberikan paling lambat 30 hari setelah melahirkan.

Periode Pemberian

Bulan Kapsul
Untuk tujuan pencegahan, pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi diberikan kepada bayi dan anak balita secara periodik, yaitu untuk bayi diberikan setahun sekali pada bulan Februari atau Agustus; dan untuk anak balita enam bulan sekali, dan secara serentak dalam bulan Februari dan Agustus.
Pemberian secara serentak dalam bulan Februari dan Agustus mempunyai beberapa keuntungan:
·         Memudahkan dalam memantau kegiatan pemberian kapsul, termasuk pencatatan dan pelaporannya, karena semua anak mempunyai jadwal pemberian yang sama.
·         Memudahkan dalam upaya penggerakkan masyarakat, karena kampanye dapat dilakukan secara nasional di samping secara spesifik daerah.
·         Memudahkan dalam pembuatan materi-materi penyuluhan (spot TV, spot radio, barang-barang cetak) terutama yang dikembangkan, diproduksi dan disebarluaskan oleh tingkat Pusat/Propinsi.
·         Dalam rangka Hari Proklamasi RI (Agustus) biasanya banyak kegiatan-kegiatan yang dapat digunakan untuk promosi kesehatan, termasuk pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.
·         Bulan Februari dan Agustus merupakan bulan pemantauan garam beryodium di tingkat masyarakat, sehingga kegiatan tersebut dapat diintegrasikan di tingkat Puskesmas.

“Sweeping”/Kunjungan Rumah
Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemberian kapsul vitamin A.
·         Bila masih ada bayi dan anak balita yang belum mendapat kapsul vitamin A pada hari pemberian yang telah ditentukan, perlu dilakukan “Sweeping” yaitu melacak/mencari bayi dan anak balita tersebut untuk diberi kapsul vitamin A, dengan melakukan kunjungan rumah. Diharapkan dengan kegiatan bulan kapsul dan sweeping semua bayi (6-11 bulan) dan anak balita (1-5 tahun) dapat dicakup 100% dengan pemberian kapsul vitamin A.
·         “Sweeping”/kunjungan rumah sebaiknya dilakukan segera setelah hari pemberian dan paling lambat sebulan setelahnya. Untuk memudahkan pencatatan dan pelaporan, akhir minggu ketiga bulan Maret (untuk periode Februari) dan akhir minggu ketiga bulan September (untuk periode Agustus) seluruh kegiatan “Sweeping” hendaknya sudah selesai.
·         Bila setelah “Sweeping” masih ada anak yang belum mendapat kapsul, maka agar diupayakan lagi meskipun sudah diluar periode pemberian.
Ini perlu dicatat tersendiri dan dilaporkan sebagai cakupan periode berikutnya (lihat Pencatatan dan Pelaporan).

Ibu Nifas
Pemberian kapsul vitamin A 200.000 SI kepada ibu pada masa nifas dapat diberikan:
·         Segera setelah melahirkan, atau
·         Pada kunjungan pertama neonatal, atau
·         Pada kunjungan kedua neonatal.

Tempat Pemberian Vitamin A
1.     Sebagai upaya pencegahan, kapsul vitamin A diberikan kepada seluruh bayi 6-11 bulan dan anak balita (1-5 tahun) di Posyandu pada hari buka Posyandu.
2.    Untuk wilayah yang belum memiliki Posyandu atau yang kunjungan Posyandunya rendah, Puskesmas perlu memberi perhatian dan upaya khusus, misalnya dengan membentuk pos pemberian vitamin A (Posvita), Dasa Wisma, Kelompok peminat KIA (KPKIA) atau melalui perkumpulan lain, atau kunjungan rumah. Tugas ini akan lebih mudah bila menggalang kerja sama diantara kader, LKMD, PKK, LSM dan tokoh masyarakat.



by-devia's article